Daftar Blog Saya

Senin, 11 Januari 2010

PEMBANGUNAN PERTANIAN, STRATEGI DAN PERMASALAHANNYA

PEMBANGUNAN PERTANIAN, STRATEGI DAN PERMASALAHANNYA

Yohanes G. Bulu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB

ABSTRACT

Till now development planning concept in agricultural sector still prioritizing product increase through usage enforcing of innovation expense of height. Social factor (social capital and institution) has not been considered as primary factor in the management of development agriculture. Development of Agriculture forwards is required revitalisation of social capital and transformation of agriculture culture to industrial culture and revitalisation of institution. Agriculture product value change yielded and the role of agriculture in economics expansion in rural more guarantyingly is prosperity of the society, will create employment and can overcome poorness in rural.

Keyword: development agriculture, strategy, problems
.

PENDAHULUAN

Sampai hari ini pertanian masih merupakan kekuatan ekonomi bagi masyarakat pedesaan dan harapan hidup bagi masyarakat perkotaan. Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi jika sektor pertanian mengalami kegagalan dalam peningkatan produksi padi (“beras”), mungkin akan terjadi kakacauan sosial atau demonstrasi seperti yang terjadi di bebrapa daerah dimana masyarakat kota melakukan demonstrasi menuntut penurunan harga beras. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta untuk menghindari terjadinya gejolak politik di negeri ini maka tidak ada pilihan lain pemerintah harus mengimpor beras guna memenuhi kebutuhan masyarakat disamping menstabilkan perekonomian. Sejak zaman kolonial sampai setelah merdeka (“pemerintahan orde lama”), pemerintahan orde baru dan orde reformasi, bahwa pembangunan pertanian di Indonesia nampaknya berjalan “di tempat”. Penelitian Geertz (1983) tentang “Involusi Pertanian proses perubahan di Indonesia” mengingatkan bahwa untuk meningkatkan pertumbahan ekonomi Indonesia setelah merdeka diperlukan suatu “dorongan besar”, tidak hanya dari sudut pandang ekonomi tetapi juga dari segi politik dan sosiologi. Secara implisit Geertz (1983) mencoba membuka wawasan bagi pengambil kebijakan (pemerintah) bahwa pentingnya perancanaan sosial dalam pembangunan pada semua bidang termasuk sektor pertanian sebagai pendukung utama pembangunan bidang ekonomi.
Sinyal-sinyal yang digambarkan Geertz (1983) mengenai pentingnya elaborasi atau yang lebih lazim yaitu melakukan integrasi antara berbagai disiplin ilmu dalam perencanaan pembangunan rupanya tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Pemerintah lebih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui peningkatkan prosuksi pertanian. Kenyataan memang menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi pertanian, akan tetapi pertumbuhan itu hanya bersifat sementara (jangka pendek), karena ketahanan dan keberlajutan produksi pertanian tidak bisa hanya mengandalkan faktor-faktor yang bersifat teknis mekanistis.
Pembangunan di sektor pertanian yang dilakukan oleh kaum penjajah seperti Belanda, Ingris, Spanyol dan Portogis di Negara-negara Asia Tenggara adalah uapaya-upaya eksploitasi guna mendukung pertumbuhan ekonomi di Negaranya masing-masing. Munculnya penjajahan di dunia di dorong oleh keinginan dari Negara-negara kuat atau Negara maju untuk menguasai sumberdaya ekonomi.
Orientasi pembangunan sektor pertanian pada jaman penjajahan Belanda di Indonesia cenderung mengembangkan komoditas perkebunan dan rempah-rempah yang bernilai ekonomi tinggi pada waktu itu seperti karet, teh, kopi, kakao, lada, kelapa sawit dan tebu. Semua hasil pertanian tersebut di ekspor guna untuk pembangunan ekonomi Negara Hindia Belanda (tidak termasuk) wilayah jajahannya. Sedangkan komoditi padi tidak termasuk sebagai bagian yang dikembangkan oleh Belanda karena dinganggap sebagai kekuatan politik bagi gerilyawan untuk melawan penjajah. Akibatnya kemiskinan masyarakat di daerah jajahan terutama masyarakat pedesaan seperti di Indonesia semakin terpuruk. Pembangunan di sektor pendidikan pun tidak dilakukan oleh Belanda, strategi ini digunakan oleh Belanda untuk memasung masyarakat Indonesia dalam kebodohan, dan hanya para Bangsawan dan keluarga bangaswan yang diperbolekan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Implikasi-implikasi kebijakan pembangunan pertanian pada zaman kolonial dalam melakukan eksploitasi sumberdaya alam, penerapan pajak tanah dan pembagian hak atas tanah melahirkan elit-elit pedesaan yang menguasai tanah-tanah produktif sehingga menimbulkan polarisasi dan stratafikasi sosial pada masyarakat petani di pedesaan terutama di pulau Jawa (Hayami dan Kikuchi, 1987; Scott, 1989). Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa perubahan struktural yang terjadi di zaman kolonial telah memungkinkan golongan elit dan Negara untuk semakin melanggar moral ekonomi kaum tani dan menjadi lebih eksploitatif (Scott, 1989).
Kondisi kemiskinan, kelaparan dan pembagian hasil yang tidak wajar oleh pemerintah pejajahan dan kaum kapitalis mengakibatkan perlawanan dan pemberontakan oleh kaum tani kepada penjajah seperti pergolakan petani Banten di Jawa Barat. Pergolakan-pergolakan kaum tani yang terjadi di seluruh wilayah jajahan Belanda mempunyai indikasi yang disebabkan oleh ketidakmerataan pembangunan terutama pembangunan ekonomi. Pergolakan antara petani dengan perusahaan multi nasional pada zaman orde reformasi yang terjadi akhir-akhir ini merupakan fenomena sosial yang menjadi “warisan” sejarah kolonial. Meskipun di satu sisi pemerintah memprogramkan pengurangan kemiskinan dengan berbagai solusi termasuk BLT, namun di sisi lain pemerintah menutup hati menyaksikan pemiskinan masyarakat yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Adam Smith mengatakan bahwa tidak ada masyarakat yang dapat maju dan berbahagia di tengah-tengah sebagian besar penduduknya yang berada dalam keadaan miskin yang menyedihkan (Fatah, 2006).
Masyarakat petani yang kapitalis, mengkhawatirkan akan kekurangan pangan telah menyebabkan timbulnya etika subsistensi yang melanda kalangan petani di Asia Tenggara. Etika subsistensi adalah suatu hal yang khas dilakukan petani dalam berusahatani dengan berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko (Scott, 1989).
Perilaku subsistensi petani dalam perkembangan teknologi pertanian yang sangat cepat sekarang ini masih dirasakan pada beberapa wilayah dan kelompok masyarakat petani di Indonesia sebagai akibat dari kegagalan perancanaan sosial dalam pembangunan sektor pertanian. Perilaku subsistensi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) warisan perilaku budaya dari suatu kelompok masyarakat atau etnis; (2) pengalaman dan pengetahuan yang terbatas; (3) keterbatasan informasi dan jangkauan informasi; (4) ketersediaan pasar dan harga hasil komoditas; (5) keterbatasan modal dan akses terhadap sumber permodalan; (6) pemilikan lahan yang semakin sempit; (7) bertambahnya jumlah buruh tani yang tidak memiliki lahan; dan (8) faktor kondisi iklim.
Suatu komunitas masyarakat atau etnis tertentu memiliki nilai-nilai budaya dan pandangan hidup atau falsafah hidup yang dianut oleh semua anggotanya. Pandangan hidup dari suatu masyarakat yang berbudaya sama adalah sebagai penggerak etos kerja tidak terkristalisasi secara baik sehingga anggota menjadi malas, acu tak acu, pasrah terhadap alam dan mengambil jalan pintas dalam melaksanakan kehidupan sehari-harinya. Perilaku semacam ini seolah-olah terwariskan secara turun temurun menjadi suatu kebiasaan dan merasa puas dengan apa yang sudah diperolehnya tanpa melalui pengorbanan yang besar.

KEMISKINAN DAN KRISIS POLITIK

Krisis pangan dan kemiskinan yang terjadi sejak zaman kolonial, pemerintahan orde Lama, Orde Baru dan zaman Pemeritahan Reformasi merupakan masalah pembangunan dan kegagalan perencanaan pembangunan diberbagai bidang dan sektor termasuk sektor pertanian yang diunggulkan dalam pembangunan ekonomi. Bahkan kemiskinan dan krisis pangan (“beras”) dijadikan komoditi politik dalam empat dasawarsa. Berdasarkan sejarah bahwa sejak zaman kolonial, beras dijadikan kekuatan politik oleh gerilyawan dalam melawan Belanda. Kehancuran pasukan Mataram dalam melawan Belanda di Jawa Barat disebabkan oleh tidak tersedianya beras di jalur Pantura pulau Jawa (Pranadji, 2004).
Dalam empat dekade terakhir terdapat dua peristiwa pergolakan politik berskala besar, yaitu berkaitan dengan pergantian pemerintahan (dari Orde Lama ke Orde Baru dan dari Orde Baru ke “Orde Reformasi”) yang di dalamnya terkandung adanya krisis pangan (terutama ketersediaan beras) yang relatif berat. Dalam keadaan masyarakat di sekitar perkotaan (Jawa) dihadapkan pada kesulitan memperoleh bahan pangan (“beras”), maka bayangan jebakan “krisis subsistensi” (Scott, 1989) bersamaan dengan krisis ekonomi pada tahun 1998 benar-benar menjadi kenyataan.
Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat sejak zaman kolonial sampai sekarang; terdapat indikasi lemahnya perencanaan pembangunan di segala bidang. Berbagai bukti kemiskinan yaitu meningkatnya pengangguran, keterbelakangan dan terpuruknya ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial-ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, sehingga tertinggal jauh dari kelompok masyarakat lain yang mempunyai potensi yang lebih baik. Kemiskinan dapat menghambat pencapaian demokrasi, persatuan dan keadilan, sehingga penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu kebijakan utama yang diperlukan untuk memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Saptana dan Darwis, 2004).
Pemerintah cenderung membuat keputusan dan aturan hukum seperti KEPRES No. 124 Tahun 2001 Jo No 8 Tahun 2002 tentang pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) di Indonesia dibanding mengambil langkah-langkah kongrit operasional penangulangan kemiskinan untuk mempercepat perubahan dan berkelanjutan. Program Jaringan Sosial (JPS) untuk mengatasi dampak krisis ekonomi tahun 1998 yang dikoordinasikan melalui KEPRES No. 190 Tahun 1998 tentang pembentukan Gugus Tugas Peningkatan JPS yang bersifat program jangka pendek, belum memberikan hasil optimal walaupun sangat membantu kelompok masyarakat miskin (Saptana dan Darwis, 2004). Langkah-langkah lain yang diambil pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan seperti program bantuan beras bagi masyarakat miskin (Raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) bukan merupakan upaya untuk melakukan perubahan kondisi-kondisi ekonomi masyarakat dan cenderung bernuansa politis serta mengajarkan pola perilaku kemunduran dalam pembangunan.
Program revitalisasi pertanian yang mulai digalakan dari tahun 2005 – 2010, pemerintah belum memperlihatkan konsep pembangunan pertanian yang komperhensif. Perencanaan pembangunan pertanian oleh pemerintah dalam lima tahun ke depan masih bersifat teknis (fisik) yaitu peningkatan produksi melalui perbaikan genetis pada lima komoditas unggulan (padi, jagung, kedelai, tebu dan ternak sapi), perluasan areal tanam pada lahan rawah dan pasang surut dan pemanfaatan optimal pada lahan kering tanpa di dukung oleh pengembangan teknologi sosial (Deptan, 2005). Tujuan rencana aksi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh presiden RI Sosilo Bambang Yudoyono tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur Jawa Barat adalah pemantapan ketahanan pangan nasional dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis (padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi). Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih menempatkan teknologi fisik sebagai prioritas utama dibandingkan pengembangan teknologi sosial yang sebenarnya mendasari pencapaian produksi, ketahanan dan keberlanjutannya. Kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah masih mengimpor jagung, kedelai, gula dan daging, artinya program revitalisasi pertanian tidak lebih dari sebuah ”slogan” yang sebelumnya diacungi jempol oleh para ilmuwan.
Pengembangan dan penyediaan pangan yang memadai bagi masyarakat merupakan masalah krusial yang menjadi ketakutan bagi pemerintah terhadap stabilitas ekonomi dan politik. Berdasarkan hal ini, pemerintah masih memposisikan “beras” sebagai komoditi penting dalam memelihara stabilitas ekonomi, sosial dan keamanan nasional (Deptan 2005). Krisis pangan yang terjadi pada akhir tahun 2006 berdampak negatif dimana polimik tentang produksi padi, ketersediaan beras, kemiskinan dan import beras (Kompas, tanggal 13 – 31 Desember, 2006) dimana masyarakat menilai bahwa bernuansa politis. Kecurigaan masyarakat pun terbukti bahwa di tubuh instusi BULOG yang merupakan salah satu kapitalis Negara melakukan korupsi yang merugikan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Upaya peningkatan produksi pertanian dan pertumbuhan ekonomi di satu sisi serta krisis pangan, kemiskinan, pengangguran serta krisis politik pada sisi lain merupakan “penyakit kronik” dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Berdasarkan data BPS tahun 2007 bahwa jumlah penduduk miskin tercatat 37,2 juta jiwa yang sebagian besar (63,4 %) dari jumlah tersebut berada di pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian.
Pemberian otonomi pada pemerintah daerah kabupaten/kota sejak tahun 2002 harus dipandang sebagai keputusan politik dan modal demokrasi yang sangat bermanfaat untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat pedesaan terhadap keberadaan pemerintah. Menurut Pranadji (2004), jika keleluasaan otonomi dimanfaatkan secara salah oleh para elit politik dan aparat pemerintah daerah tingkat II, maka peluang mengembalikan kedaulatan masyarakat pedesaan untuk membangun perekonomian nasional akan semakin tertutup.

KRISIS NILAI DALAM PEMBANGUAN PERTANIAN

Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi. Umumnya yang menjadi bagian-bagian dari pembangunan ekonomi di Negara-negara dunia ketiga nampaknya lebih dominan dilakukan secara parsial. Di Indonesia pembangunan yang dilakukan oleh sektor-sektor dan subsektor berjalan menurut konsepnya sendiri-sendiri sehingga visi dan misi serta tujuan pembangunan jarang dicapai secara maksimal. Yang banyak muncul dipermukaan dalam pelaksanaan pembangunan adalah ego-sektoral dan subsektoral.
Model-model pembangunan secara umum maupun pembangunan pertanian nampaknya merupakan coba-coba, ketika program itu gagal tidak lagi diperbaiki dengan memahami apa permasalahan dasarnya serta menentukan solusi pemecahan permasalahan. Selain itu setiap kali perggantian kepemimpinan nasional diikuti dengan meluncurkan konsep-konsep pembangunan yang berbeda, hanya untuk menunjukkan bahwa konsep itu berbeda yang dilakukan oleh kepemimpinan yang lalu. Konsep-konsep pembangunan yang ditawarkan atau yang menjadi kebijakan pembangunan oleh pemerintah lebih dominan dikritisi oleh para ilmuwan, politikus dan praktisi dengan tanpa mengambil langkah-langkah untuk duduk bersama dengan pemerintah dalam memperbaiki konsep-konsep pembangunan dan program yang lebih operasional. Nampaknya “manusia” Indonesia telah diwarisi budaya memprotes menurut versinya masing-masing tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dan dirinya sendiri. Perilaku-perilaku semacam itu dengan tanpa suatu orientasi masa depannya, maka manusia Indonesia mengalami “krisis nilai”.
Penggunaan teori-teori modernisasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menekankan faktor manusia atau nilai-nilai budaya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Menurut Koentjaraningrat (1985) suatu nilai budaya yang perlu dimiliki lebih banyak manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Menurut MeClelan bahwa dorongan berprestasi (N--achievement) tinggi maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Jika seseorang menggunakan waktu luang untuk menikmati hidup seperti tidur atau bersenang-senang maka mempunyai motivasi yang rendah. Akan tetapi apabila waktu luangnya digunakan untuk berpikir bagaimana meningkatkan situasi sekarang ke rarah lebih baik maka N--achievement tinggi. Dalam menjelaskan kemajuan perekonomian masyarakat, Weber (1964) menyatakan bahwa kemajuan perekonomian yang dicapai masyarakat Eropa pada abad 16 - 17 adalah adanya suntikan Etika Protestan (“Protestant Ethics”), yang di dalamnya terkandung tata nilai bahwa kerja adalah “amal-ibadah” yang wajib bagi manusia yang dianugerahi kehidupan. Bagi Rostow, pembangunan ekonomi tidak saja memerlukan kondisi ekonomi, teknologi dan demografi yang memadai tetapi juga seperti penganut fungsionalis diperlukan kelembagaan dan sistem nilai yang memadai (Suwarsono dan Y So, 2000). Berkaitan dengan kinerja sebagai suatu nilai, maka penguasa orde reformasi periode 2009 -2014 mencoba menggunakan pendekatan teori motivasi dua faktor dari Hersberg (Gibson, et al., 1997) melalui pemberian jaminan kesehatan, fasilitas, dan kenaikan gaji bagi pejabat negara, jika gaji cukup tinggi maka akan termotivasi untuk bekerja lebih baik dan akan mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jika gaji diposisikan sebagai motivator maka tanggungjawab sosialnya akan menjadi rendah.
Perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan perlu mendapat dukungan tata nilai masyarakat yang mencerminkan kemajuan. Modal sosial (social capital) sebagai basis berkembang dan mengkristalnya tata nilai masyarakat pedesaan belum mampu diidentifikasi untuk diposisikan sebagai ”titik ungkit” perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi. Tata nilai yang dijalankan suatu sistem sosial umumnya telah mengalami pematangan yang relatif lama, bisa memakan waktu lebih seabad. Namun, jika tata-nilai ini awalnya dikembangkan dalam sistem sosial yang relatif kecil, diperkirakan waktu yang dibutuhkan bisa relatif pendek (Pranadji, 2004). Rusaknya tata nilai dalam masyarakat disebabkan oleh konsep pembangunan ekonomi dan sosial yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah ketika terjadi pergantian pemimpin.

PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Meskipun pembangunan pertanian masih menjadi prioritas dalam rangka menunjang perekonomian masyarakat, akan tetapi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian terus meningkat seiring dengan perkembangan dan kemajuan sistem pertanian itu sendiri. Kaharuddin (1992), mengatakan bahwa pengelolaan pertanian tidak lagi menjadi sederhana, melaikan terkait dengan sektor-sektor lain sebagai suatu sistem yang tidak mungkin terlepas satu sama lain. Masalah pembangunan pertanian tidak hanya merupakan beban para petani, melainkan secara tidak langsung sudah menjadi masalah yang terkait dengan segala aspek kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Kaharuddin mengatakan bahwa permasalahan dalam pembangunan pertanian, yaitu; (1) mengecilnya lahan pertanian dan fragmentasi tanah; (2) sikap mental masyarakat masih merupakan penghambat dalam pembangunan; (3) keterbatasan pengetahuan masyarakat; (4) masalah sosial budaya belum sejalan dengan konsep perencanaan pembangunan; dan (5) faktor ekonomi sebagai penghambat pembangunan. Fragmentasi lahan umumnya disebabkan oleh pewarisan. Fenomena tersebut merupakan bukti nyata bahwa tekanan penduduk muncul ketika pertumbuhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian menekan penggunaan sumber daya lahan pertanian sehingga akan menimbulkan kemiskinan dan pengangguran. Peny (1978) mengatakan bahwa pembangunan pertanian akan terbentur apabila petani-petani kecil itu tidak memiliki kesempatan untuk membeli barang; apabila input-input pertanian, baik yang modern maupun yang tradisional kurang persediaannya; dan apabila informasi-informasi yang tepat mengenai tanaman baru, harga pasar, atau teknik baru tidak bisa diperoleh.
Permasalahan pembangunan pertanian lebih dominan disebabkan oleh lemahnya pembangunan sosial. Faktor sosial (modal sosial) dan kelembagaan sebagai basis kristalisasi nilai tidak ditangani secara baik. Kelembagaan pada tingkat mikro (kelompok tani) yang merupakan basis berkembangnya modal sosial dari bawah, sehingga perlu diperkuat karena berpotensi menjadi bahan bakar pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan. Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah maka lembaga pembangunan pertanian yang berinduk pada lembaga sektor nasional harus menyesuaikan rencana dan strategi pembangunan sektor ke dalam pola pikir dan tujuan pembangunan daerah (Suradisastra, 2006). Keragaman potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sosial budaya dan iklim pembangunan daerah membuka peluang bagi lembaga pembangunan pertanian untuk lebih kreatif untuk mengembangan strategi pendekatan yang bersifat spesifik lokalita dan berkelanjutan. Keberhasilan pembangunan ekonomi di pedesaan tidak terlepas dari sinkronisasi kebijakan pembangunan pertanian di tingkat nasional, regional dan daerah. Pembangunan sektor pertanian tidak bisa dilakukan secara otonom karena mempunyai keterkaitan dengan sub sektor dan sektor-sektor lain dan sejauh ini masih memerlukan dukungan dan jaringan kerjasama dari berbagai sektor. Dengan demikian posisi modal sosial mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi mulai dari tingkat mikro sampai pada tingkat makro (Bulu, et al., 2008).
Francis Fukuyama (1995) dalam bukunya Trust -- The Social Virtues and The Creation of Prosperity menegaskan bahwa untuk membangun basis ekonomi yang kuat dan tahan lama, sebuah bangsa tak bisa hanya menyandarkan pada kekayaan alam dan modal finansial yang melimpah, tetapi tak kalah pentingnya adalah modal sosial (social capital) yang dimiliki. Selain aset sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, elemen pokok dari modal sosial adalah kuatnya sifat dan sikap untuk saling percaya dan saling menghargai, baik dalam bentuk relasi vertikal maupun relasi horizontal yang disebut sebagai high trust society. Dengan demikian, trust merupakan salah satu modal utama untuk menciptakan kehidupan politik dan ekonomi yang kokoh dan tahan lama.
Paradigma modernisaisi pertanian yang bertujuan merubah sektor pertanian tradisional menjadi sektor pertanian modern yang dikenal dengan “revolusi hijau” telah mampu meningkatkan produksi pertanian khususnya pertanian tanaman pangan (padi). Namun, keberhasilan tersebut menurut Soetrisno (2002), juga diikuti dengan munculnya berbagai masalah generasi kedua, seperti: (1) rentannya sistem pertanian pangan di Negara-negara sedang berkembang terhadap serangan hama penyakit; (2) ketergantungan petani pada input-input modern (pupuk kimiawi, pestisidan dan herbisida); (3) masalah sosial (perbedaan antara petani kaya dan petani miskin) yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam berbagai situasi tradisional yang semula berperan dalam mekanisme pemerataan; dan (4) berkembangnya ekonomi uang di daerah pedesaan.
Permasalahan-permasalahan pembangunan yang digambarkan oleh Soetrisno masih dapat dianalisis lebih rinci mengenai faktor-faktor penyababnya. Pertama, meningkatnya serangan hama penyakit pada tanaman pangan disebabkan oleh meningkatnya penggunaan teknologi pertanian modern, bahkan peningkatan penggunaan pupuk kimiawi dan pestisida mengancam kesehatan manusia. Kedua, ketergantungan petani pada input-input modern disebabkan oleh orientasi peningkatan produksi sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian tanpa mempertimbangkan dampak-dampak negattif terhadap penerapan teknologi modern. Ketiga, meningkatnya stratafikasi sosial di pedesaan seperti adanya perbedaan petani kaya dan petani miskin atau adanya golongan petani berperilaku rasional (rational behavior) dan golongan petani yang mementingkan diri sendiri (self interested) disebabkan oleh perbedaan pemilikan/penguasaan lahan pertanian yang berakibat pada meningkatnya kemiskinan, pengangguran dan semakin bertambahnya jumlah petani berlahan sempit dan buruh tani yang tidak memiliki lahan. Keempat, berkembangkannya ekonomi uang di pedesaan tidak diimbangi oleh pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada kelembagaan sosial pedesaan.
Permasalahan lain dalam pelaksanaan pembangunan berorientasi peningkatan produksi adalah tidak diikuti dengan pengembangan teknologi sosial seperti pengembangan kelembagaan pedesaan yang berbasis agribisnis serta mengabaikan faktor-faktor sosial budaya dan kekuatan sumberdaya lokal, sehingga mengakibatkan pembangunan pertanian tidak berkelanjutan. Keberhasilan agribisnis di sektor pertanian sangat ditentukan oleh kekuatan modal sosial melalui jaringan-jaringan (networks), saling kepercayaan (trust) dan norma (norms). Tidak berjalannya kegiatan agribisnis di pedesaan disebabkan oleh rusaknya modal sosial karena perilaku negatif yang dilakukan oleh beberapa individu. Menurut Suradisastra (2006), bahwa sikap kolektif sebagai suatu kesatuan kini merupakan tantangan tersendiri bagi pelaksana pembangunan pertanian. Pisau bedah yang dimiliki pelaksana pembangunan pertanian untuk mengatasi personal tersebut tidak cukup memadai. Pendekatan yang mungkin dilakukan dalam kegiatan agribisinis pertanian yang dinakodai oleh modal sosial yaitu, pendekatan wilayah, komoditas, antropologis, sosiologis, psikologis, ekonomi, dan kelembagaan. Untuk mencapai hal itu maka sangat perlu melakukan revitalisasi kelembagaan sebagai pisau bedah percepatan pembangunan pertanian (Suradisastra, 2006). Namun jangan lupa bahwa modal sosial yang tertanam dalam kelembagaan juga perlu dilakukan revitalisasi melalui pendekatan kohesif. Pranadji (2003) menyoroti masalah pembangunan pertanian karena lemahnya pengelola negara untuk melakukan transformasi kelembagaan pertanian dan pedesaan. Banyak kalangan menyayangkan mengapa masyarakat Indonesia yang telah merdeka lebih dari setengah abad masih belum mampu membangun tatanan kelembagaan yang bisa mengantarkan menjadi bangsa yang kuat di bidang sosial, ekonomi, politik, dan penguasaan mengelola sumberdaya alam dan pertanian.
Melalui Peraturan Mentri Pertanian Nomor 16 tahun 2008 pemerintah meluncurkan program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dimana GAPOKTAN (gabungan kelompok tani) yang merupakan kelembagaan tani adalah pelaksana PUAP untuk menyalurkan bantuan modal bagi anggota. Seiring dengan pelaksanaan program PUAP yang bersifat dadakan maka tidak sedikit GAPOKTAN dan kelompok tani yang dibentuk dadakan dengan “pura-pura” melengkapi administrasi untuk memenuhi persyaratan dalam pencairan dana bantuan. Program PUAP yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan yang merupakan masalah pokok nasional, namun sampai dengan saat ini kinerja program tersebut belum dapat diukur sejauhmana terjadinya pengurangan kemiskinan di pedesaan. Pemerintah masih disibukan dengan rapat-rapat dengan perencanaan pembangunan yang belum pasti bahkan pertemuan puncak para stakeholder yang dikenal “National Summit” tidak lebih dari sarana konsolidasi atau “pertemuan hati” sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat agar dinilai bahwa mereka akan betul-betul bekerja. Dalam pertemuan tersebut tidak direkomendasikan sektor pertanian sebagai bagian yang mendukung pertumbuhan ekonomi, namun yang di bahas adalah sektor pangan terutama yang terkait dengan “penelaahan kembali peraturan terkait tata ruang dan ketersediaan lahan termasuk hutan”.
Dewasa ini pemerintah masih lebih banyak menggunakan pendekatan “belas kasihan” untuk mengatasi kemiskinan seperti BLT. Suatu bukti nyata bahwa dalam melakukan pemberdayaan masyarakat terjadi krisis teori dan kreativitas. Pemberdayaan masyarakat pertanian dan pedesaan tidak dijalankan secara komprehensif sebagai agenda politik nasional, dikhawatirkan hal tersebut tidak lebih sebagai slogan populis atau bahan cari muka di depan publik saat kampanye Pemilu. Kebijakan otonomi daerah masih mengesankan slogan. Dengan otonomi daerah tidak menjangkau masyarakat pedesaan, praktek penyalahgunaan oleh para elit politik di tingkat kabupaten menjadi sulit dihindari, dan hal ini telah menimbulkan biaya ekonomi tinggi (Pranadji, 2003).
Sampai dengan saat ini pemerintah belum menyadari bahwa permasalahan utama dalam pembangunan pertanian adalah terletak pada masalah sosial budaya, modal sosial, dan kelembagaan. Konsep perencanaan pembangunan pertanian oleh pemerintah masih bertahan pada konsep peningkatan produksi. Hal ini dapat dilihat dimana recana aksi pemantapan ketahanan pangan dalam program Revitalisasi Pertanian tahun 2005 – 2010, pemerintah memfokuskan peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan trategis yaitu; padi, jagung, kedelai dan daging sapi (Deptan, 2005). Konsep pembangunan pertanian yang selalu memunculkan komuditas dan teknologi sebagai tujuan utama program aksi merupakan konsep pembangunan yang diartikan sempit (“peningkat produksi”); pelaku-pelaku untuk meningkatkan produksi dari ke lima komoditas tersebut adalah manusia (“petani”) tidak pernah ditempatkan sebagai faktor utama dalam pembangunan pertanian. Soetrisno (2002) mengatakan bahwa pembangunan pertanian di Negara-negara berkembang selalu diartikan dengan sempit, yakni suatu proses introduksi dan adopsi teknologi baru bagi petani. Maka petani pun dibanjiri teknologi-teknologi baru yang pada akhirnya seringkali menambah beban finansial dan menambah resiko kegagalan panen bagi petani. Beberapa kasus serangan penyakit tungro (wereng hijau) pada tanaman padi di beberapa daerah di Indonesia menyebabkan kegagalan panen bagi petani, seperti kasus kegagalan panen yang dialami petani padi di daerah Muntilan (Kedaulatan Rakyat, 8 Maret 2007).

STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

. Tujuan pembangunan adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat dan bukan berarti bahwa pembangunan dihentikan setelah masyarakat mencapai tingkat kesejahteraan tertentu. Sebelum merumuskan dan menentukan strategi dalam pembangunan pertanian maka yang perlu dipahami adalah: (1) hakekat pembangunan pertanian; (2) visi dan misi pembangunan pertanian; (3) tujuan pembangunan pertanian; (4) Syarat-syarat pembangunan pertanian; (5) strategi dasar pembangunan pertanian; dan (6) pendekatan dasar pembangunan pertanian (Fatah, 2006).
Kabinet Indonesia bersatu Jilid I telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berasal pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Operasional konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengetasan kemiskinan (Deptan, 2005). Nampaknya kinerja yang dicapai Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I belum secara signifikan, sehingga program pengurangan kemiskinan dan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja baru masih dilanjutkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Departemen Pertanian, telah lebih awal menyangga bahwa strategi dan Kebijakan Revitalisasi Pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara top down; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana. Menurut Departemen Pertanian (2005), bahwa revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Konsep revitalisasi pertanian perlu dikritisi karena penekanan utama dalam rencana program aksi pemantapan ketahanan pangan (Badan Litbang Pertanian, 2005) adalah peningkatan kapasitas produksi nasional pada lima komoditas strategis (padi, jagung, kedelai, tebu, daging sapi), sementara Departemen Pertanian dalam program revitalisasi pertanian menawarkan konsep multi-fungsi pertanian. Konsep pembangunan pertanian sepertinya tidak komprehensif karena ada loncatan konsep dari peningkatan produksi ke multi-fungsi pertanian sehingga faktor pemberdayaan kelembagaan pertanian dan pedesaan yang sebenarnya bisa menjangkau seluruh lapisan petani seolah-olah “terabaikan” atau “diabaikan” walaupun tersirat dalam perubahan paradigma pola pikir masyarakat petani. Konsep multi-fungsi pertanian merupakan konsep pemikiran “gemilang” para ilmuwan atau peneliti dan konseptor yang masih perlu dikaji secara komperhensif, baik dari aspek teknis, sosial ekonomi, kelembagaan, budaya dan aspek politik. Meskipun multi-fungsi mempunyai tujuan integrasi, yaitu meningkatkan produksi usahatani, pemeliharaan atau konservasi alam yang berkelanjutan dan keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata agro), akan tetapi konsep ini akan dinilai masyarakat petani mengandung unsur politis. Seandainya lereng gunung Dieng bisa dijadikan pengembangan multi-fungsi pertanian, maka akan muncul pertanyaan siapa yang mengelola? siapa yang menikmati pemasukan dari program multi-fungsi pertanian? Apa keuntungan dan manfaat bagi petani kecil?. Kita dapat membanyangkan bahwa program multi-fungsi pertanian tidak akan dilepas oleh pemerintah daerah untuk dikelola masyarakat, karena merupakan lahan baru terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Multi-fungsi pertanian, jika tidak ada pemerataan pembagian hasil maka justru akan menimbulkan konflik sosial, kesenjangan baru antara petani kaya dan miskin.
Angka-angka pertumbuhan ekonomi dan perhitungan pendapatan per kapita yang menakjubkan, menurut banyak pengamat hanya bersifat semu, karena tidak pernah dinikmati oleh masyarakat miskin. Menurut Marzuki (1999) mengatakan, karena hasil yang diperoleh bukan diciptakan dan dinikmati oleh kegiatan ekonomi yang sesuai dengan sumber daya masyarakat Indonesia (SDA, SDM dan kelembagaannya), tetapi hanya diciptakan dan dinikmati oleh kegiatan ekonomi sekelompok masyarakat tertentu yang disebut «konglo­merat». Marzuki (1999) menawarkan suatu konsep sebagai salah satu strategi dalam penanggulangan kemiskinan, yaitu penerapan sistem ekonomi kerakyatan dalam kerangka paradigma pembangunan kemandirian lokal. Peradigma Pembangunan Kemandirian Lokal juga menekankan pada pendekatan pembangunan manusia (human development approach) dengan empat pilar pembangunannya: pemberdayaan (empower); keadilan (equity); produktivitas (productivty) dan kesinambungan (sustainable). Dengan demikian modal sosial (Social capital) mempunyai peran strategis sebagai faktor utama yang mampu menggerakan semua faktor tersebut di atas. Aspek pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk mendinamisir kelompok masyarakat yang mempunyai kapasitas produktif tapi kurang kesempatan untuk akses pada lingkungan hidup dan usaha yang bersifat moderen dengan tanpa harus menjadi korban tranpalasi nilai dan kelembagaan asing. Kemudian, aspek pemerataan mengandung makna tersedianya kesempatan yang merata, berimbang dan adil dalam pemanfaatan sumber daya mereka guna peningkatan taraf hidupnya. Sedangkan, aspek produktivitas diartikan sebagai upaya peningkatan peretumbuhan perekonomian yang harus ramah terhadap tenaga kerja (employment-friendly growth). Akhirnya tentang aspek kesinambungan, mengandung makna pentingnya kegiatan pembangunan diarahkan pada penciptaan kondisi kegiatan yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan kaidah-kaidah pembangunan yang berwawasan lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan demi kesejahteraan generasi mendatang.
Birokrasi yang diciptakan terlalu “gemuk” dan kemampuan sumber daya manusianya masih belum optimal. Disamping itu pemerintah daerah pada umumnya sangat mementingkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daripada peningkatan Produk sebagai upaya meningkatkan pemasukan/kemampuan keuangan daerah. Kebijakan yang berfokus pada PAD tersebut diimplementasikan melalui pemberlakuan berbagai macam pungutan, baik berupa retribusi, pajak maupun pembayaran-pembayaran lainnya (fees). Pungutan-pungutan tersebut menambah mengganggu minat investor domestik maupun luar negeri, dan menghambat orang miskin maupun pengusaha untuk memulai maupun mengembangkan bisnis. Jika konsisten dengan prinsip pembangunan ekonomi yang pro-masyarakat miskin, seyogyanya pemerintah daerah tidak hanya memikirkan peningkatan PAD tetapi lebih kepada bagaimana memperluas kapasitas fiskal daerah dan memperluas basis produktif sektor ekonomi rakyat. Dengan kata lain, strategi peningkatan Produk Domestik Regional Bruto lebih relevan daripada sekedar peningkatan PAD.
Dendi et al (2004) mengatakan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan adalah melalui pengembangan ekonomi lokal. Menurut Dendi bahwa misi ekonomi kerakyatan semestinya difokuskan kepada membangun industrialisasi pedesaan yang berbasis pertanian (agricultural-based rural industry). Untuk mewujudkan industrialisasi pedesaan yang pro-masyarakat miskin (pro-poor), maka perluasan akses masyarakat miskin kepada sumber daya ekonomi melalui pengembangan infrastruktur fisik (transportasi, energi dan telekomunikasi) dan penyediaan insentif-insentif (atau subsidi) yang terarah untuk kegiatan produktif serta pengembangan infrastruktur kelembagaan ekonomi masyarakat di tingkat lokal adalah sangat mendesak, terutama bagi daerah-daerah marginal seperti wilayah Nusa Tenggara. Pengembangan ekonomi lokal seyogyanya tidak dipandang sebagai sesuatu yang ekslusif, tetapi sebagai bagian integral dari pembangunan daerah. Berikut ini dikemukakan arah tujuan dan cakupan inisiatif pengembangan ekonomi lokal menurut perspektif Gesellschaft für Technische Zusammernabeit (GTZ): (1) Mendorong ekonomi lokal untuk tumbuh dan menciptakan tambahan lapangan kerja; (2) Mendayagunakan sumber daya lokal yang tersedia secara lebih baik; (3) Menciptakan ruang dan peluang untuk penyelarasan suplai dan permintaan; (4) Serta mengembangkan peluang-peluang baru bagi bisnis. Lebeih lanjut Dendi et al, (2004) mengatakan bahwa pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk mencapai tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu: (i) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja; (ii) berkurangnya jumlah penduduk miskin, dan pada gilirannya (iii) terwujudnya kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut fokus strategi diletakkan pada 3 dimensi strategi yaitu daya tarik, daya tahan dan daya saing ekonomi lokal. Ketiga dimensi tersebut tidaklah terisolir satu sama lainnya, tetapi merupakan rantai yang saling bergantung. Dengan demikian, semua faktor yang membentuk daya tarik serta daya tahan adalah fundamen penting bagi penciptaan daya saing. Pranadji (2003); Pranadji (2004) dan Bobo (2003), memandang bahwa pembangunan seyogyanya lebih diprioritaskan untuk menyelesaikan masalah krusial dalam masyarakat atau menyembuhkan penyakit kronik masyarakat melalui: (1) transformasi budaya; (2) transformasi kelembagan dan (3) transformasi ekonomi rakyat.

Peran Penyuluh Pertanian dalam Pembangunan Pertanian ke Depan

Fakta empiris di negara-negara maju menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh modal manusia, sosial dari pada modal sumber daya alam. Dalam mewujudkan tujuan pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani maka kedudukan fungsi penyuluhan pertanian sangat strategis karena perannya dalam meningkatkan modal manusia pertanian dan modal sosial.
Perubahan perilaku petani dan kompleksitas pembangunan pertanian ke depan, dan untuk mewujudkan tujuan pembangunan pertanian ke depan diperlukan transformasi budaya dari budaya pertanian ke budaya industri. Transformasi budaya tersebut hanya dapat diwujudkan melalui fungsi penyuluhan (proses pendidikan).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dua domain peran penyuluh pertanian disamping perannya saat ini sesuai dengan Undang-Undang Penyuluhan Pertanian adalah mengembangkan modal sosial dan melaksanakan transformasi budaya pertanian. Penyuluh Pertanian ke depan akan tidak dipersepsikan hanya sebagai ”guru” apalagi dipersepsikan identik dengan ”juru penerang” petani, tetapi sebagai ”agent perubahan” pertanian. Menurut Pranadji (2004), transformasi sosio-budaya memadukan dua hal pokok, yaitu visi pembangunan pertanian di pedesaan dan kenyataan empirik di lapangan. Transformasi sosio-budaya merupakan instrumen untuk mentransformasikan budaya usaha pertanian pedesaan dari yang berciri tradisional/subsisten ke arah pertanian berwawasan agribisnis dan industrial. Bentuk akhir dari proses transformasi sosio-budaya adalah terjadinya perubahan karakteristik usaha pertanian, nilai produk pertanian yang dihasilkan dan peran pertanian dalam pengembangan perekonomian pedesaan yang lebih menjamin kesejahteraan masyarakatnya.

KESIMPULAN

Perencanaan pembangunan pertanian harus mengacu pada pengalaman-pengalaman kegagalan masa lalu dan permasalah yang ada di tingkat bawah. Pembangunan yang berorientasi pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi nasional bertentangan dengan teori-teori modernisasi.
Pembangunan pertanian perlu dilakukan upaya reformasi kelembagaan ekonomi pedesaan pada masa datang harus sejalan dengan upaya mentransfromasikan tatanan pemerintahan dan pengelolaan sumberdaya ekonomi yang lebih otonom hingga tingkat desa. Prinsip otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan harus diwujudkan juga dalam pemberian otonomi pada pelaku-pelaku ekonomi di pedesaan.
Sistem penyuluhan yang selama ini dijadikan lembaga penggerak pembangunan pertanian harus diorientasikan pada kemajuan ekonomi, bukan hanya pada peningkatan produksi pertanian (padi sawah) dalam arti yang sangat sempit. Dalam penyelenggaran penyuluhan pertanian dapat dilakukan melalui pendekatan agribisnis dengan memanfaatkan modal sosial sebagai instrumen utama. Kelompok tani harus dipandang sebagai wahana pengembangan organisasi ekonomi pedesaan dan basis tumbuhnya modal sosial sehingga perlu mendapat perlakuan dominan dalam pemeberdayaan ekonomi, dan bukan sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk memobilisasi masya­rakat pedesaan.
Keberhasilan pembangunan ekonomi di pedesaan tidak terlepas dari sinkronisasi kebijakan pembangunan pertanian di tingkat nasional, regional dan daerah. Pembangunan sektor pertanian tidak bisa dilakukan secara otonom karena mempunyai keterkaitan dengan sub sektor dan sektor-sektor lain dan sejauh ini masih memerlukan dukungan dan jaringan kerjasama dari berbagai sektor.
Untuk mewujudkan pembangunan pertanian melalui pengembangan ekonomi lokal dan atau pengembangan kemandirian lokal di pedesaan perlu dikembangkan “sistem tata nilai” dan “kepemimpinan” yang mengarah pada kemajuan ekonomi. Kedua aspek tersebut diharapkan bisa dijadikan penggerak ekonomi di pedesaan ke arah yang memiliki daya saing tinggi di pasar global. Tata nilai yang perlu dikembangkan dalam kehidupan masyarakat pedesaan adalah hendaknya mengacu pada modal sosial, modal ekonomi, modal manusia, dan modal budaya. Ciri masyarakat yang mempunyai tata nilai maju dalam kegiatan pengelolaan usaha tani dan agribisnis adalah bekerja keras, kerja efisien, berlaku jujur, menghargai dan menghormati orang lain, keyakinan diri mampu berhasil (self efficacy), bekerjasama, berperilaku rasional, membangun jaringan komunkasi dan kerjasama, mentaati norma dan nilai-nilai yang berlaku serta mempunyai visi untuk maju dan menumbuhkan ekonomi pedesaan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

salam sejahtera..

Article ini bagus untuk rujukan saya. Bisa ka tuan memberikan list rujukan untuk aricle ini. Kalau bisa minta tolong di emailkan ke wsysiso@gmail.com. Terima kasih.